II. TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Pengertian HACCP
HACCP (Hazard Analysis
Critical
Control Point)
merupakan suatu alat (tools) yang di gunakan untuk menilai tingkat bahaya,
menduga perkiraan resiko dan menetapkan ukuran yang tepat dalam pengawasan dengan menitikberatkan pada pencegahan dan pengendalian proses pengujian proses akhir yang biasanya di lakukan dengan cara pengawasan tradisional.
Hazard Analysis adalah analisis bahaya
atau kemungkianan adanya resiko bahaya yang tidak
dapat di terima. Bahaya disini
adalah segala
macam aspek
mata rantai produksi pangan yang tidak dapat diterima
karena
merupakan
penyebab
masalah
keamanan pangan. Bahaya
tersebut meliputi
(Suklan, 1998):
1. Keberadaan yang tidak
di kehendaki dari pencemar biologis,
kimiawi atau fisik
pada bahan mentah
2. Pertumbuhan atau kelangsungan hidup mikroorganisme dan hasil perubahan
kimiawi yang tidak
dikehendaki
misalnya nitrosamin
pada produk antara
atau jadi atau pada lingkungan produksi; dan
3. Kontaminasi atau
kontaminasi ulang (cross contamination),
pada
produk antara
jadi, atau pada lingkungan produksi.
Critical
control point CCP
atau titik kendali kritis
adalah langkah dimana pengendalian dapat di terapkan dan di perlukan untuk mencegah atau menghilangkan
bahaya
atau menguranginya sampai titik aman
(Thaher, 1995).
Titik
kendali kritis (CCP) dapat berupa bahan mentah, lokasi
praktek, prosedur atau pengolahan dimana
pengendaliannya
dapat
diterapkan untuk
mencegah atau mengurangi bahaya. Berdasarkan pada tujuh prinsip
dasar yaitu (Suklan,
1998) :
1. Melakukan analisis
bahaya
2. Menentukan titik kendali kritis (TKK)
3. Menetapkan batas-batas kritis
4. Menetapkan prosedur pemantauan
5. Menetapkan tindakan koreksi
6. Menetapkan prosedur verifikasi
7. Menetapkan prosedur penyimpanan catatan dan
prosedur dokumentasi. HACCP adalah suatu sistem manajemen yang memfokuskan perhatian pada
keamanan pangan melalui analisis dan pengendalian bahaya biologis,
kimia dan fisik mulai tahap produksi bahan baku sampai akhir.
Untuk
keberhasilan penerapan HACCP, manajemen harus mempunyai komitmen yang kuat terhadap konsep HACCP. Suatu konsep manajemen puncak yang kuat terhadap HACCP akan
menumbuhkan pengertian karyawan perusahaan tentang pentingnya memproduksi makanan yang aman (Wahono, 2006).
2.1.1 Identifikasi Bahaya dan Penetapan Kategori Resiko
Bahaya
Menurut Thaheer (2005),
analisis bahaya merupakan suatu tindakan
evaluasi secara
sistematik pada
makanan spesifik dan bahan baku atau
ingredient untuk menentukan resiko dan merupakan suatu
prosedur yang
dilakukan
untuk mengidentifikasi bahaya-bahaya yang ada pada produk dan
bahan-bahan yang digunakan. Untuk
pembuatannya, analisa
bahaya dilakukan dengan membuat
diagram proses untuk menggambarkan
urutan produksi, distribusi, kontaminasi
pertumbuhan dan
ketahanan mikroorganisme
yang dapat menyebabkan keracunan
pangan.
Dalam
melakukan
analisa bahaya,
hal
penting yang perlu dipertimbangkan yaitu mengenai semua kemungkinan bahaya yang
ada pada
bahan baku,
bahan pembantu,
setiap tahapan
proses, penyimpanan produk
dan distribusi, penyiapan
akhir dan
penggunaan oleh konsumen. Identifikasi harus memasukkan semua aspek
operasi
dalam lingkup
sistem HACCP
(Wahono, 2006).
Saat
melakukan
analisa bahaya,
hal-hal yang
menyangkut keamanan pangan harus dibedakan dengan hal-hal
yang menyangkut mutu. sehingga
kata
hazard
yang digunakan ini hanya dibatasi
untuk hal-hal yang menyangkut
keamanan pangan.
Terdapat
tiga bahaya hazard yang
dapat
menyebabkan
makanan menjadi
tidak
aman untuk
dikonsumsi, yaitu hazard fisik, kimia, dan
biologi.
Bahaya fisik termasuk
benda-benda
seperti pecahan logam,
gelas, batu yang
dapat menimbulkan
luka
di
mulut, gigi
patah, tercekik
ataupun luka pada
saluran pencernaan.
Bahaya kimia antara lain pastisida, zat pembersih, antibiotik, logam berat, dan
bahan tambahan makanan. Bahaya biologi antara lain mikroba pathogen (parasit, bakteri), tanaman dan hewan beracun. Hal-hal penting yang harus dipertimbangkan adalah:
a.
Formulasi;
adalah
bahan mentah dan bahan baku yang dapat mempengaruhi keamanan pangan dan
kestabilan produk.
b. Proses; adalah parameter
proses pengolahan yang dapat mempengaruhi bahaya.
c.
Kemasan; adalah perlindungan terhadap kontaminasi ulang
dan
pertumbuhan mikroorganisme.
d. Penyimpanan/penanganan; adalah waktu
dan kondisi suhu
serta
penanganan
di dapur dan
penyimpanan
di etalase.
e.
Perlakuan konsumen; digunakan oleh konsumen atau ahli masak
professional.
f. Target grup; yaitu
pemakai akhir makanan tersebut ( bayi, orang
dewasa, lanjut usia ).
Semua faktor
ini harus dipertimbangkan untuk menentukan resiko
serta tingkat bahaya yang dikandungnya. Tiap-tiap pengawasan/studi harus memeriksa mikroorganisme
tertentu,
bahan kimia
atau pencemar
fisik
yang mungkin mempengaruhi keamanan
produk tertentu.
Pengendalian dapat didefinisikan
secara
tepat dengan cara ini (Sudarmaji, 2005).
Menurut Wahono (2006),
proses
pelaksanaan analisa bahaya meliputi dua
tahap yaitu :
1. Tahap identifikasi bahaya
Pada tahap ini dilakukan pengkajian ulang terhadap bahan-bahan
yang digunakan dalam produk, serta kegiatan-kegiatan yang
dilakukan
pada setiap
tahap
dalam proses dan peralatan yang digunakan,
produk akhir,
metode penyimpanan dan
pendistribusiannya.
2. Penetapan kategori risiko bahaya
Pada tahap ini, setiap potensi
bahaya dievaluasi berdasarkan kriteria
keparahan (severity) dari potensi bahaya dan kemungkinan atau peluang
terjadinya (risk).
Identifikasi dan
analisa bahaya hanya
dibatasi
pada jasa yang
disediakan, sebagai
contoh, penyimpanan
dingin atau beku, pengemasan dan
pengangkutan.
Menurut Purnomo (2004), aspek-aspek dalam identifikasi bahaya meliputi :
1. Spesifikasi bahan baku dan ingredient, pengendalian proses pada tingkat
proses pemasok dan
lain-lain.
2. Karakteristik
produk
antara produk akhir, spesifikasi instrinsik
produk
dan lain-lain.
3. Karakteristik proses yang digunakan
termasuk jasa yang
disubkontrakkan
4. Program prasyarat termasuk aspek seperti :
a. Tata Letak Fasilitas, lini produksi, instalasi dan
peralatan.
b. Lokasi ruangan,
jalur
Produksi
(routing), penyimpanan dan pemisahan bahan baku,
produk
antara,
produk
akhir, ventilasi dan
lain-lain.
c. Proses produksi seperti pembelian, pembersihan, pengendalian
hama, manajemen limbah, dan
lain lain.
d. Personel (Termasuk
pengaturan pengunjung dan pelayanan jasa
dari
luar seperti mekanik); hygiene, pengetahuan mengenai hygiene makanan, dan keamanan
pangan, persyaratan
untuk memberitahukan penyakit dan infeksi, dan
lain-lain.
Analisa
bahaya
pada titik
pengendalian
kritis
tidak
berarti
menghasilkan semua
masalah keamanan pangan namun memberikan informasi yang dapat digunakan untuk mengendalikan bahaya yang
masih
ada, selanjutnya diserahkan
kepada pihak manajemen untuk menggunakan informasi tersebut secara tepat.
Pengelompokkan bahaya dan karakteristiknya dapat dilihat
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Pengelompokan Bahaya sesuai dengan Karakteristik
Kelompok Bahaya
Karakteristik
Bahaya
Bahaya A Kelompok
khusus yang
terdiri dari produk non steril yang
ditujukan untuk konsumen beresiko tinggi seperti bayi,
orang sakit, orang tua dan lain-lain.
Bahaya B Produk yang
mengandung
bahan atau ingredient yang
sensitif terhadap bahaya biologis,
kimia atau
fisik.
Bahaya C Di dalam
prosesnya tidak terdapat tahap yang dapat
membunuh
mikroorganisme berbahaya atau Mencegah atau
menghilangkan bahaya fisik atau kimia.
Bahaya D Produk
yang kemungkinan
mengalami pencemaran
kembali
setelah pengolahan sebelum pengemasan.
Bahaya E Kemungkinan terjadi
kontaminasi kembali atau
penanganan yang salah selama distribusi, penjualan
atau penyimpanan oleh konsumen sehingga produk menjadi
berbahaya bila
dikonsumsi.
Bahaya F Tidak ada proses pemasaran setelah pengemasan atau waktu
dipersiapkan di rumah yang dapat memusnahkan atau
menghilangkan bahaya biologis
Sumber : Pierson dan
Corlet (1992)
Dalam penyusunan rencana HACCP, analisis bahaya diperlukan untuk
mengidentifikasi
bahaya-bahaya
yang sifatnya
diperlukan upaya
untuk penghilangan atau pengurangan sampai pada tingkat yang dapat diterima.
Dengan demikian analisa bahaya harus dilakukan pada semua produk atau
proses yang ada
dan untuk setiap
produk
baru. Analisa
bahaya
merupakan prinsip
HACCP
yang pertama
yang bermanfaat
untuk membantu menghindari berbagai hal
yang mungkin
terlewatkan,
dengan prosedur analisa
bahaya
ini tim HACCP
akan
memiliki
daftar potensial bahaya yang lengkap dan realistis.
Setelah daftar potensi bahaya
disusun, maka
selanjutnya dilakukan
pengelompokan berdasarkan kategori risikonya. Menurut
Thaheer (2005) risiko dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu :
1. Risiko tinggi (High,
H),
yakni sangat mudah terjadi bahaya.
contohnya,
pada produk-produk yang
mengandung
ikan, telur,
sayur,
serelia atau
bahan baku susu yang memerlukan pendinginan.
2. Risiko
menengah
atau sedang (Moderate, M), yakni
mungkin terjadi
bahaya. contohnya, produk-produk yang
dikeringkan
atau dibekukan yang mengandung
ikan, daging,
telur, sayuran, serelia, atau produk lain
yang tidak termasuk
dalam peraturan hygiene makanan.
3. Risiko rendah (Low, L), mungkin tidak terjadi
bahaya. contohnya
produk berasam rendah seperti acar,
buah-buahan, konsentrat buah, sari
buah dan
minuman asam.
Risiko
merupakan dampak
negatif (adverse effect) dan besarnya pengaruh
sebagai akibat dari adanya suatu
bahaya dalam makanan. Penetapan kategori risiko
bahaya
merupakan tahap kedua dalam mengevaluasi bahaya. Pada tahap ini,
setiap potensi bahaya dievaluasi berdasarkan kriteria keparahan dari
potensi
bahaya dan
kemungkinan terjadinya (risk). Keparahan merupakan tingkat keseriusan sebagai
akibat dari terdapatnya suatu
bahaya. Pertimbangan
terhadap kemungkinan kejadian
bahaya didasarkan pada kombinasi dari pengalaman, data epidemiologis, dan
informasi teknis (Wahono, 2006). Dalam identifikasi
titik, tahap dan
prosedur digunakan untuk memastikan lokasi
yang
sesuai
untuk
menetapkan
titik kendali kritis, tingkat ketatnya
prosedur pemantauan yang diperlukan
dan menentukan perubahan pada
proses dan
ingredient yang
sekiranya
dapat mengurangi besarnya bahaya yang ada.
Wahono (2006)
mendefinisikan metode-metode
analisis resiko
dapat membantu menentukan tingkat pengendalian yang
seharusnya diterapkan untuk
mengendalikan bahaya. Keparahan yang ditimbulkan
mempunyai tingkatan signifikan bahaya yang dibedakan menjadi : Memuaskan (Satisfactory, Sa), Minor (Minor, Mi), Mayor
(Major,Ma), dan kritis (Critical, Cr).
Setelah tahap analisa
bahaya
selesai dilakukan,
bahaya-bahaya
yang
berkaitan dengan setiap tahap dalam
produksi makanan sebaiknya
didaftar sesuai
dengan langkah atau tindakan yang
digunakan untuk mengendalikan bahaya tersebut. Pengendalian menyatakan
keadaan
dimana prosedur-prosedur yang
benar diikuti
dan kriteria
yang
ditetapkan dapat
terpenuhi. Langkah pengendalian merupakan setiap tindakan dan aktivitas yang
dapat digunakan untuk mencegah atau menghilangkan suatu bahaya keamanan pangan atau menguranginya
sampai pada tingkat yang dapat diterima.
2.1.2 Membuat Diagram Alir
Diagram tersebut harus menjelaskan
bahan mentah/baku,
tahap
pengolahan
dan
pengemasan, serta mencakup data yang
diperlukan untuk analisis bahaya mikrobiologis,
kimia dan
benda-benda
asing termasuk
informasi tentang kemungkina
terjadinya kontaminasi.
2.1.3 Penetapan Titik Kendali Kritis (CCP)
Penetapan titik kendali
kritis merupakan prinsip
kedua
HACCP. Panduan
yang
dikeluarkan Codex mendefinisikan titik
kendali kritis sebagai satu tahap dimana kendali dapat diterapkan dan
hal
ini
penting untuk
mencegah residu
antibiotik
dan bahaya kimiawi atau menghilangkan bahaya keamanan pangan yang disebabkan oleh patogen,
logam dan parasit atau menguranginya sampai tingkat
yang dapat diterima. (Wahono,2006). Menurut Thaher (1995), Critical Control Point, CCP (Titik Kendali
Kritis) dapat berupa bahan
mentah, lokasi,
praktek,
prosedur, atau
pengolahan
dimana pengendalian dapat diterapkan untuk mengurangi
bahaya.
Langkah pengendalian adalah faktor-faktor tindakan dan aktivitas yang
dapat digunakan untuk mengendalikan suatu bahaya keamanan pangan yang
teridentifikasi. Dalam langkah pengendalian
ada tiga
macam
pengendalian bahaya
antara lain :
a. Pengendalian bahaya
biologi,
langkah-langkah
pengendalian biologi
dapat dikendalikan dengan membatasi, memindahkan, atau merubah kinetika
pertumbuhan mikroba yang diperlukan untuk bertahan hidup, tumbuh
dan berkembang biak.
b. Pengendalian
bahaya
kimia digunakan sebagai bahan
yang digunakan
atau diperoleh melalui proses kimia. Langkah-langkah pengendalian bahaya kimia dapat dilihat
pada Tabel 2.2.
c. Pengendalian bahaya fisik,
beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk
mencegah bahaya fisik
dalam produk pangan, anatara lain :
1. Pengendalian sumber, seperti penetapan spesifikasi untuk bahan
baku dan ingredient
serta
sertifikasi
penjual sehingga
tidak akan terdapat benda-benda fisik
pada tingkat yang membahayakan.
2. Pengendalian proses,
seperti penggunaan magnet dan detector
logam, saringan, alat pemisah
batu, penjernih, penghalang atau
penyaring
udara.
3. Pengendalian
lingkungan
seperti memastikan bahwa
prosedur
GMP
telah diikuti
dan tidak ada kontaminasi fisik
yang terjadi pada
makanan, baik melalui bangunan,
fasilitas
maupun peralatan.
Beberapa langkah pengendalian yang
dapat digunakan untuk mengendalikan bahaya fisik
dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2
Pengendalian Bahaya Kimia
Pengendalian sebelum penerimaan
Pengendalian sebelum penggunaan Spesifikasi bahan baku. Kaji ulang penggunaan dari bahan kimia. Sertifikasi
penjualan. Jaminan
kemurnian yang sesuai,
formulasi dan labelasi.
Pemeriksaan acak –
Verifikasi. Pengendalian Jumlah yang ditambahkan.
Pengendalian
Kondisi
Penyimpanan
dan
pengawasan.
Mencegah kondisi yang kondusif untuk menghasilkan toksikan alami. Sumber : Thaheer (2005)
Persediaan semua bahan kimia
dalam
fasilitas.
Kaji ulang penggunaan dan mencatat
penggunaan.
Pada Tabel
2.2, makanan yang mengandung
bahan-bahan kimia
untuk pertanian
maupun perikanan yang melewati toleransi yang
diijinkan seharusnya tidak
diterima. Spesifikasi bahan baku
yang sesuai, sertifikat pemasok,
dan jaminan
melalui pemeriksaan dan pada pemeriksaan random akan membantu untuk mencegah masuknya
bahaya
yang
berasal dari bahan kimia yang ditambahkan kedalam bahan makanan. Jumlah bahan kimia yang ditambahkan pada makanan atau dalam
lingkungan
pengolahan
makanan harus melalui tahap
pemeriksaan
dan penerapan metode pengujian serta evaluasi lainnya. Selain itu diperlukan pemantauan
untuk menentukan kesesuaian dengan rencana
HACCP
(Verifikasi)
yang
harus dikendalikan dan
dicatat. Adapun pengendalian bahaya terlihat
pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3
Pengendalian Bahaya Fisika
Bahaya Fisik Sumber Pencegahan
Gelas Bahan baku,
wadah, fittings lampu, peralatan laboratorium,
alat pengolahan.
Logam Bahan baku, alat kantor
(paper clips, paku
payung), wadah peralatan
pengolahan, peralatan
pembersihan ( sikat).
Batu ranting daun
Bahan baku
(tanaman),
lingkungan sekitar
pengolahan.
Gunakan pemasok yang sudah
disahkan pentup gelas fittings,
melarang gelas didaerah
penanganan makanan.
Gunakan
pemasok
yang
disahkan, melarang adanya
logam
di
daerah
penanganan
makanan, memelihara
preventive,
detektor logam. Gunakan
pemasok
yang
disahkan, jaga lingkungan makanan
tetap
bersih, pasang kawat saringan serangga di jendela, jaga pintu tertutup.
Serangga dan bangkai
Serangga yang
mati
diruang
produksi
Membersihkan
ruang
produksi secara
periodik
sehingga tidak
ada sarang dalam ruang produksi.
Plastik Lingkungan sekitar pengolahan makanan, pekerja, peralatan
yang digunakan.
Hama Bahan baku,
lingkungan sekitar pengelolaan
makanan, lingkungan kotor.
Pelatihan karyawan mengenai hygiene yang
baik,
menjaga
kebersihan lingkungan
dengan baik, detector plastic.
Gunakan pemasok
yang sudah disahkan,
jaga lingkungan
makanan tetap bersih, pasang kawat saringan serangga
dijendela, jaga pintu tertutup,
buang limbah secara teratur,
jaga wadah makanan tertutup,
bersihkan
percikan makanan
sesegera mungkin, bersihkan
lingkungan secara teratur.
Perhiasan Manusia Pelatihan karyawan mengenai
hygiene yang
baik, melarang
penggunaan perhiasan.
Rambut Manusia Menggunakan
alat penutup
kepala.
Sumber : Thaheer (2005)
Dalam menentukan titik-titik kritis digunakan analisa keputusan dengan
menggunakan decision tree.
Decision tree merupakan suatu alat
pengambilan
keputusan
yang terdiri dari
pertanyaan-pertanyaan untuk
menentukan
titik-titik
kritis
dalam suatu proses pengolahan
bahan pangan. Penerapan decision tree harus
fleksibel, dan tergatung apakah operasi
ditujukan untuk produksi, pengolahan,
penyimpanan, distribusi atau
lainnya
(Codex,
1997). Menurut Wahono (2006), titik kendali kritis dapat dikatakan ideal apabila :
1. Kriteria didukung dengan penelitian dan
literatur teknis.
2. Kriteria
bersifat
spesifik,
kuantitatif dan
memberikan respon
Ya atau
Tidak.
3. Teknologi untuk mengendalikan TKK tersedia dengan biaya yang layak.
4. Pemantauannya bersifat kontinyu dan operasi secara otomatis akan disesuaikan untuk mempertahankan
kondisi terkendali.
5. Mempunyai riwayat pengendalian yang baik.
6. Potensi bahaya bisa dicegah atau dihilangkan.